
Perjalanan NU, Dari Ukhuwah Menuju Kemajuan dan Peranannya di Masyarakat
Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfudz
Dalam rangka memperingati Harlah NU yang ke-102, NU mulai nampak berkembang pesat. Banyak pembangunan yang terjadi, termasuk penandatanganan berbagai program untuk pembangunan kantor MWCNU, koperasi, dan sektor kesehatan. NU sejatinya memiliki kekayaan yang besar. Beberapa bulan belakangan, kita baru melakukan penertiban administrasi.
Di Jawa Timur saja, terdapat lebih dari 19.000 sertifikat tanah dengan luas mencapai sekitar 8 juta meter persegi. Ini menunjukkan bahwa NU sebenarnya kaya. Namun, selama ini kita kurang tertib dalam mengelola administrasi tanah, yang sebagian sudah ada sejak zaman dahulu dan bahkan ada yang telah berganti sertifikat atas nama orang lain. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih tertib dalam administrasi.
Jika kita tertib dalam mengelola aset, NU sesungguhnya memiliki banyak potensi. Begitu juga dengan PBNU yang memiliki banyak sertifikat tanah. Di usia yang ke-102 tahun ini, saya baru saja membaca sebuah tulisan dari lembaga survei terkemuka DIJA yang membandingkan NU dengan Muhammadiyah.
Pada tahun 2005, anggota Muhammadiyah hanya mencakup 9,4% dari penduduk Muslim Indonesia. Namun, pada tahun 2023, angkanya turun menjadi 5,7%. Sementara itu, pada tahun 2005, jumlah penduduk Islam di Indonesia mencapai 228 juta, dengan NU mencakup sekitar 27,5% atau sekitar 55 juta orang. Pada 2023, dengan jumlah penduduk Indonesia yang meningkat menjadi 280 juta jiwa, jumlah anggota NU melonjak menjadi 56,9% atau sekitar 137 juta orang. Ini adalah peningkatan yang luar biasa.
Banyak yang berpendapat bahwa NU semakin besar, namun saya percaya bahwa sejak dulu NU sudah besar. Hanya saja, wadahnya yang dulu kurang besar. Dulu, banyak orang yang berpindah ke Muhammadiyah atau organisasi lain, namun sekarang wadah NU semakin besar, dan mereka yang dulu berpindah kini kembali bergabung. Dulu, teman-teman saya yang merupakan petinggi di pemerintahan atau BUMN sering bisik-bisik mengatakan, “Saya dan keluarga saya itu NU,” sebelum tahun 2000. Kini, mereka mengakuinya dengan bangga dan lantang.
Kita perlu merenung dan memikirkan langkah kita ke depan. Namun, NU adalah organisasi yang sangat besar. Tidak ada organisasi di dunia yang sebesar NU, apalagi dengan usia yang sekarang. NU dibangun dengan dasar ukhuwah. Setiap kali saya berkunjung ke cabang-cabang NU, lebih dari separuh anggota yang hadir adalah Muslimat. Inilah sesungguhnya NU.
Saya kembali membuka sejarah perjalanan umat Islam yang mengikuti faham Aswaja, yang tercatat dalam kitab-kitab yang dikaji di Tebuireng, yang ditulis oleh Hadhratussyaikh sejak tahun 1330 H. Pada tahun 1912, berbagai aliran baru masuk ke Indonesia, membawa pemikiran yang bertentangan, yang membuat masyarakat bingung. Sebelumnya, umat Islam di Indonesia hanya mengikuti satu faham, yakni Aswaja, dan satu mazhab, yaitu Imam Syafi’i. Setelah itu, banyak faham baru muncul, sehingga terjadilah pembagian antara Islam tradisional dan Islam modern.
Islam tradisional berbasis pesantren, yang pada tahun 1926 kemudian diwadahi dalam organisasi yang dinamakan NU. Kemudian, NU berusaha menggalang kekuatan untuk membangun ukhuwah. Pada tahun 1937, tercapai kesepakatan untuk membentuk satu federasi Majelis Islam Ala Indonesia, yang diikuti oleh 13 organisasi Islam. NU baru bergabung pada tahun 1938, sebagai respons terhadap rencana pemerintah Belanda yang ingin memberlakukan UU perkawinan. Semua organisasi Islam terdampak, dan NU mengajak mereka untuk bersatu, dengan tujuan yang jelas: membangun ukhuwah demi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Penting untuk diingat, arah perjuangan NU pada saat itu adalah untuk kemerdekaan, mengedepankan ukhuwah dan ibadah kepada Allah. Perbedaan faham dapat diselesaikan belakangan, yang utama adalah memperjuangkan kemerdekaan. Dan dengan rahmat Allah, Indonesia akhirnya merdeka pada tahun 1945. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kekuatan ukhuwah yang dijalin oleh NU, yang menjadi landasan utama dalam perjuangan kemerdekaan.
Saat ini, MWCNU sudah memiliki kantor yang bagus, begitu pula dengan PCNU yang memiliki aset rumah sakit. Mari kita kelola dengan amanah agar tidak kehilangan aset seperti di masa lalu. Semoga Allah memudahkan kita untuk terus mengelola dan mencukupi kebutuhan organisasi NU ini. Dalam setiap kebutuhan, NU biasanya menjalankan beberapa cara, seperti berziarah ke makam, tawasul, wiridan, dan riyadhoh. Itulah modal spiritual yang digunakan NU untuk meminta kemudahan kepada Allah.
Saya melihat bahwa NU terus berkembang. Berdasarkan survei, banyak orang yang dulunya tidak menemukan tempat di NU kini kembali bergabung. Jika kita melihat ke belakang, kita bisa mengambil ibrah dari apa yang dilakukan oleh leluhur NU.
Pada tahun 1926, mereka mendirikan NU, lalu pada tahun 1937 ada pembentukan federasi, diikuti dengan penggabungan organisasi pada tahun 1938, serta adanya persatuan Arab yang bergabung setelahnya. Semua itu adalah langkah-langkah strategis dalam menggapai ridho Allah. Silaturahim menjadi modal utama dalam perjuangan Aswaja. (*)
Transkip: Albii
Sumber: Tebuireng Online